“Kalau semua udah selesai oleh AI, terus gw ini apa, mesti ngapain?”
Saya pernah ada di situasi tersebut. Saat itu ada projek tahu bulat yang harus segera diselesaikan, tidak ada kesempatan untuk berpikir banyak, tidak ada ruang untuk menawar deadline, kemudian secara otomatis saya dan tim langsung berpikir untuk menggunakan AI. Prosesnya berlangsung cepat, semua notulen online meeting bahkan rekomendasi projek disusun otomatis oleh AI. Tidak banyak diskusi kreatif yang terjadi, dan seperti tidak ada insight manusia. Hanya hasil—output final yang dihasilkan oleh AI.
Setelah semua pekerjaan tersebut selesai, pertanyaan tadi muncul. Pertanyaan yang tidak datang dari ego, tapi dari keresahan eksistensial: ketika proses kerja yang dulu jadi identitas, kini digantikan oleh sistem.
Penolakan terhadap AI bukan soal teknologi. Tapi soal psikologi.
Saya pernah menulis skripsi berjudul “Pengaruh Adaptasi Penggunaan AI Terhadap Kepuasan Kerja.” Awalnya saya berangkat dari asumsi umum: bahwa semakin canggih teknologinya, semakin besar kemungkinan orang akan menerimanya. Tapi hasil penelitian justru menunjukkan arah yang agak berbeda.
Banyak karyawan merasa tidak siap, tidak percaya diri, atau bahkan enggan menggunakan sistem berbasis AI—bukan karena tidak mampu, tapi karena ada sesuatu yang lebih dalam: keraguan, kecemasan, dan konflik psikologis yang tidak selalu terlihat.
Dalam memahami mengapa seseorang menerima atau menolak teknologi seperti AI, Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1991) menawarkan kerangka yang kuat. Teori ini menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan—dalam hal ini, menggunakan AI—sangat dipengaruhi oleh tiga hal utama.
- Sikap pribadi terhadap AI. Apakah AI dipandang sebagai sesuatu yang positif atau justru merasa bahwa AI mengancam peran pekerjaannya?
- Norma sosial. Lingkungan sekitar punya pengaruh besar. Jika rekan kerja atau atasan mendukung penggunaan AI, maka seseorang lebih cenderung untuk mengikuti.
- Selanjutnya, dan yang seringkali paling menentukan, adalah persepsi kontrol—yakni sejauh mana seseorang merasa mampu dan percaya diri dalam menggunakan teknologi tersebut.
Jika AI dipersepsikan terlalu kompleks, teknis, maka resistensi sangat mungkin muncul, bahkan terhadap sistem yang sebenarnya sangat user-friendly.
Dalam praktiknya, orang menolak AI bukan karena mereka tahu bahwa AI tidak berguna, tetapi karena mereka merasa AI terlalu rumit, tidak familiar, atau “bukan untuk saya.” Perasaan ini seringkali lebih berpengaruh daripada fakta teknis sebenarnya.
Cognitive Dissonance: Ketika AI Mengganggu Narasi Diri
Cognitive Dissonance (Festinger, 1957) adalah ketegangan psikologis yang muncul ketika seseorang memegang dua kepercayaan atau nilai yang saling bertentangan. Dalam konteks AI, hal ini terjadi ketika seseorang secara rasional tahu bahwa AI itu bermanfaat, tetapi secara emosional merasa terancam, tidak relevan, atau tergantikan.
Misalnya, “Saya tahu AI ini akan membantu pekerjaan saya… tapi saya merasa tidak dibutuhkan lagi.” atau “AI membuat proses kerja lebih efisien… tapi saya merasa kehilangan purpose dari pekerjaan saya.” Kondisi ini menciptakan konflik batin yang mendorong seseorang untuk menarik diri, menolak mencoba, atau bahkan menciptakan justifikasi seperti “AI terlalu overhyped” atau “Nggak ada AI yang bisa menggantikan intuisi manusia”—bukan sebagai argumen objektif, tapi sebagai pelindung identitas kemanusiaannya.
Dalam riset Venkatesh & Bala (2008), sekelompok manajer senior di sebuah perusahaan multinasional menunjukkan resistensi pasif terhadap sistem berbasis AI. Mereka menghindari pelatihan dengan alasan terlalu sibuk, mengandalkan bawahan untuk menjalankan sistem, bahkan meragukan manfaat AI meskipun laporan menunjukkan efisiensi meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa resistensi bukan selalu frontal. Kadang hadir dalam bentuk ketidakaktifan, sinisme halus, atau pengalihan tanggung jawab.
Menolak AI, Tanda Butuh Dimengerti?
Dari apa yang saya dapatkan dari skripsi saya dan juga refleksi di lapangan, saya belajar satu hal: resistensi bukan selalu tanda penolakan logis. Tapi sering kali sinyal bahwa seseorang sedang butuh dimengerti—tentang identitasnya, tentang perannya, dan tentang masa depannya.
Penerimaan terhadap AI hanya mungkin terjadi jika kita bantu membangun: rasa kontrol, rasa aman untuk gagal, dan rasa percaya bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti—dan inilah yang membuat edukasi tentang AI harus bersifat human-centered, bukan sekadar demonstrasi fitur.
Meskipun, pada kenyataannya, seringkali di dunia kerja kita tidak memiliki banyak pilihan.
💬 Renungan untuk kita semua: Apa yang membuat Anda ragu terhadap AI? Siapkah Anda mengikuti pesatnya kemajuan teknologi?
#AI #CyberPsychology #SelfAwareness #CognitiveDissonance #WorkplaceChange #DuniaKerja
*Artikel ini disusun dan disunting oleh manusia, dan diperlengkap dengan menggunakan AI.
Referensi bacaan
1. The Theory Of Planned Behavior – Icek Ajzen (1991)
Judul: The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes
Link: https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/theory-of-planned-behavior
2. Teori Cognitive Dissonance – Leon Festinger (1957)
Judul: What Is Cognitive Dissonance Theory?
Link: https://www.simplypsychology.org/cognitive-dissonance.html