Digital Burnout (yang Kasat Mata)

Pagi ini saya bangun dan, mungkin, seperti kebanyakan dari kita, yang pertama saya sentuh bukan air atau kopi—tapi ponsel. Dalam hitungan detik, otak saya langsung diisi notifikasi dari berbagai platform berbeda yang seakan melambai menyambut saya: email kerja, grup WhatsApp kantor, dan satu-dua-tiga bahkan lebih notifikasi dari media sosial yang… entah kenapa terasa wajib saya cek, bahkan sebelum sempat membasuh muka.

Sebelum sarapan, saya sudah membaca 14 pesan, 5 headline berita, dan komentar-komentar yang membuat saya ragu dengan pilihan hidup saya di pagi itu.

Hari bahkan belum dimulai, tapi kepala sudah terasa penuh.


Apa Itu Digital Burnout?

Istilah digital burnout merujuk pada kelelahan mental dan emosional yang disebabkan oleh paparan digital secara terus-menerus—terutama dalam konteks kerja hybrid dan always-on culture. Ini bukan sekadar kelelahan karena “terlalu sering di depan layar”, tapi kondisi kronis di mana batas antara kerja dan istirahat lenyap, hingga pikiran tidak pernah benar-benar offline.

Dunia kerja modern yang makin terhubung membuat banyak orang merasa bersalah ketika tidak membalas pesan dalam hitungan menit, atau merasa cemas ketika tidak membuka email sebelum tidur. Bahkan, menurut American Psychological Association (APA), digital burnout bisa menimbulkan gangguan tidur, penurunan motivasi, bahkan gejala depresi ringan. 

Microsoft melakukan studi neuro-scientific pada tahun 2021 terhadap para karyawan yang mengikuti rangkaian tatap mata virtual atau online meeting tanpa jeda. Hasilnya menunjukkan lonjakan signifikan pada gelombang beta otak—indikator dari stres dan kelelahan kognitif—yang terus meningkat dari satu meeting ke meeting berikutnya.

Namun yang menarik, ketika sesi online meeting diberi jeda hanya 10 menit di antaranya, tingkat stres otak menurun drastis. Ini membuktikan bahwa bukan hanya durasi kerja yang memicu burnout, tetapi juga tidak adanya jeda dalam setiap aktivitas digital. Pikiran kita seperti tidak diberi ruang untuk bernapas.


Technostress: Ketika Teknologi Menjadi Tekanan

Istilah technostress pertama kali dikenalkan oleh Craig Brod pada tahun 1984, dan kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Tarafdar et al. (2007), yang mengklasifikasikan technostress dalam beberapa bentuk, antara lain:

  • Techno-overload: saat teknologi membuat kita harus bekerja lebih cepat dan lebih banyak.
  • Techno-invasion: ketika teknologi masuk ke ruang pribadi dan merusak batas antara hidup profesional dan personal.
  • Techno-complexity: ketika kita merasa tidak cukup mampu mengikuti laju perkembangan teknologi yang digunakan di tempat kerja.

Di sinilah letak ironi terbesar dunia modern: teknologi dirancang untuk membuat hidup lebih mudah, tapi jika tidak diatur dengan bijak, justru bisa menjadi sumber tekanan psikologis yang mengikis kualitas hidup. Secara garis besar konsep ini menjelaskan kenapa hari-hari ini kita merasa lelah, walau “hanya duduk di depan laptop.”

Survei Populix tahun 2023 mencatat, sebanyak 68 persen pekerja usia 25-40 tahun mengalami stres akibat beban kerja digital yang tidak kunjung berhenti, terutama karena tuntutan untuk terus online di luar jam kerja.

Hal ini seperti mengingatkan kita: saat tubuh bisa istirahat, belum tentu pikiran kita ikut offline.


Saya menyadari, kita butuh lebih dari sekadar digital detox sesekali. Kita butuh sistem yang mengizinkan manusia untuk benar-benar off, baik dari notifikasi maupun ekspektasi—yang memberi ruang untuk otak bernapas dan hati beristirahat.

Menjaga keseimbangan bukan soal cuti dan mematikan ponsel saat long weekend, tapi tentang menciptakan ruang hening dalam rutinitas. Tentang membangun batas yang sehat antara konektivitas dan kemanusiaan.


💬 Renungan untuk kita semua: Kapan terakhir kali Anda “benar-benar offline”—bukan hanya dari gadget, tapi dari rasa cemas untuk selalu terlihat hadir?

*Artikel ini disusun dan disunting oleh manusia, dan diperlengkap dengan menggunakan AI.

Referensi bacaan

1. Riset Neurologis TMV – Microsoft WorkLab (2021)
Judul: Judul: Research Proves Your Brain Needs Breaks
Link: https://www.microsoft.com/en-us/worklab/work-trend-index/brain-research

2. Teori Technostress – Tarafdar et al. (2007)
Judul: The Impact of Technostress on Role Stress and Productivity
Link: https://www.jstor.org/stable/25148839


Posted

in

by