Ketika Algoritma Mengenal Saya Lebih Baik dari Diri Sendiri

Setiap saya membuka Spotify, lagu yang direkomendasikan kok terasa sangat pas. Bukan sekadar cocok—tapi seperti sedang dibacakan semua yang ada di dalam kepala. Kemudian, ketika sedang break biasanya saya membuka media sosial, TikTok menyodorkan video yang membahas topik yang baru saya pikirkan dalam-dalam: tentang masa tua, kehilangan arah, dan… pertanyaan tentang siapa saya sebenarnya.

Awalnya saya anggap kebetulan. Tapi makin sering itu terjadi, muncul pula pertanyaan:

Apakah kita masih autentik, atau hanya cerminan dari apa yang disodorkan oleh algoritma?


AI dan Kurasi Identitas

Dengan kehadiran AI, kita tak lagi hanya “menggunakan teknologi.” Kita secara aktif dikurasi, diarahkan, bahkan didefinisikan olehnya. Ruang digital seakan menjadi medan kurasi identitas, di mana sistem tidak lagi hanya merekam dan menafsirkan, tapi juga membentuk ulang.

Menurut Extended Self Theory dari Russell Belk (1988), manusia memperluas identitasnya melalui apa yang dimiliki—dulu lewat benda fisik seperti rumah, kendaraan, atau pakaian. Kini, kepemilikan itu ditambah oleh digital footprints, seperti playlist, feed media sosial, histori pencarian, konten yang kita bagikan, hingga persona digital yang disesuaikan berdasarkan prediksi sistem.

Teori ini kemudian diperkuat oleh gagasan tentang Digital Identity, yang dijelaskan oleh Buckingham (2008) sebagai identitas yang dibentuk dalam interaksi kita dengan teknologi. Digital identity tidak bersifat tetap; namun dinamis, seringkali situasional, dan kadang dikonstruksi oleh sistem berdasarkan algoritma, bukan refleksi sejati dari siapa kita. Dalam banyak kasus, algoritma membantu membentuk representasi diri kita berdasarkan pola konsumsi, interaksi, dan preferensi yang terdokumentasi.

Pertanyaannya, saat AI mengenali kebiasaan kita dan menyusun ‘versi digital’ kita—yang menyukai genre musik tertentu, membeli produk tertentu, atau bereaksi pada konten tertentu—sejauh mana kita masih memegang kendali atas narasi kepemilikan identitas itu?

Dan yang lebih penting: apakah versi digital itu masih merepresentasikan siapa kita sesungguhnya, ataukah kita yang menyesuaikan diri terhadap versi algoritma yang kita anggap ideal?


Menavigasi Identitas di Era Otomatisasi

Saya mulai menyadari bahwa sistem—meski tampak membantu—sebenarnya juga sedang menciptakan “versi saya” yang ideal menurut data. Dan versi itu, ironisnya, bisa jadi lebih dominan daripada versi diri sendiri di realita.

Kini saya hidup dalam banyak versi.
Ada saya yang tampak profesional di LinkedIn.
Ada saya yang menjadi explorer di Instagram.
Ada saya yang menjadi rider di TikTok.
Dan ada versi digital saya yang dibentuk oleh AI—versi yang disimpulkan dari pola, bukan nilai.

Kondisi ini juga berhubungan dengan istilah Multiple Digital Identity—gagasan bahwa seseorang bisa memiliki banyak identitas digital yang tidak selalu sinkron. Setiap platform menuntut performa tertentu, dan AI memperkuat performa itu dengan terus memberi kita “rekomendasi” atas siapa kita seharusnya.

Pada Desember 2024, Drew Afualo, seorang aktivis yang memiliki lebih dari 8 juta pengikut di TikTok mengumumkan break membuat konten. Ia mengungkapkan bahwa tekanan untuk selalu tampil sebagai “aktivis sempurna” membuatnya merasa terjebak dan tidak mencerminkan dirinya sepenuhnya. Ia merasa bahwa validasi dirinya lebih banyak datang dari respons audiens daripada dari dalam dirinya sendiri, yang berdampak negatif pada kesehatan mentalnya.


Saya tidak sedang menyalahkan teknologi. Saya sangat menikmati banyak kemudahannya. Tapi saya mulai belajar untuk lebih sadar: bahwa tidak semua yang tampak seperti preferensi, adalah hasil dari pilihan. Bisa jadi, itu hanyalah hasil dari prediksi yang terus dikonfirmasi oleh sistem yang jika digunakan tanpa kesadaran, ia bisa menjadi pembentuk identitas pasif yang mengikis autentisitas diri kita sebagai individu.

Dan karena itulah, menjaga autentisitas hari ini bukan soal menjadi berbeda—tapi soal menyadari kapan kita sedang diarahkan, dan kapan kita sedang memilih. Literasi digital, kesadaran diri, dan kemampuan untuk berdialog dengan sistem menjadi sebuah keharusan dan skill yang harus diasah.


💬 Renungan untuk kita semua: Di era serba digital ini, bagaimana Anda mendefinisikan diri? Apakah algoritma membantu Anda mengenali diri lebih baik, atau justru membuat Anda semakin jauh dari realita?

*Artikel ini disusun dan disunting oleh manusia, dan diperlengkap dengan menggunakan AI.

Referensi bacaan

1. Extended Self Theory – Russell Belk (1988)
Judul: Journal of Consumer Research, Vol. 15, No. 2
Link: https://doi.org/10.1086/209154

2. Digital Identity – David Buckingham (2008)
Judul: Youth, Identity, and Digital Media
Link: https://mitpress.mit.edu/9780262524827/youth-identity-and-digital-media


Posted

in

by