Hasil Karya AI, Masih Bisa Disebut Karya Kita?

Cukup dengan menulis prompt satu paragraf, dan dalam waktu kurang lebih 30 detik, muncul empat versi gambar yang—jujur saja—lebih bagus dari yang bisa dibuat sendiri dalam waktu mungkin satu sampai dua hari.

Saya senang, kagum dengan hasilnya. Yang saya lakukan hanya sedikit mengedit prompt hasil dari copy-paste prompt di aplikasi Thread, dan sisanya bukan urusan saya.

Pada akhirnya saya juga bertanya-tanya:

Apakah karya itu milik saya? Apakah saya bisa menyebutnya “buatan saya”?

Atau… Ya pertanyaan tersebut bukan tanggung jawab saya?


Saat Kreativitas Berubah Jadi Proses Kurasi

Generative AI (seperti ChatGPT, Midjourney, Suno, Runway, dll) memungkinkan siapa pun menciptakan teks, gambar, musik, bahkan video hanya dengan deskripsi dan klik. Namun, ketika proses kreatif menjadi secepat itu, muncul pula pertanyaan-pertanyaan baru:

Apakah hasilnya masih bisa disebut “karya”?
Apakah menulis prompt itu setara dengan berkarya?
Apakah keahlian memilih output sama dengan keahlian mencipta?

Dan yang paling sering dipertanyakan: Apakah karya yang dihasilkan AI bisa disebut orisinal?

Kita terbiasa mengukur orisinalitas dari proses: ide, riset, trial & error, dan “sentuhan” pribadi. Tapi AI tidak punya ingatan emosional, tidak punya niat kreatif, dan tidak bisa menjelaskan “kenapa” ia membuat sesuatu. Maka wajar jika kita ragu—bukan pada keindahan hasilnya, tapi pada orisinalitas yang tidak bisa dilacak, dan pada kemungkinan bahwa karya yang dibuat orang lain mungkin saja hasilnya sama.


Trust in Automation: Percaya Pada AI dan Hasilnya?

Menurut Lee & See (2004), kepercayaan terhadap teknologi—sistem otomatis (dan mungkin termasuk AI) dibentuk oleh tiga hal utama:

  • Reliabilitas – Apakah sistem bekerja secara konsisten?
  • Prediktabilitas – Apakah kita bisa menebak bagaimana sistem akan merespons?
  • Transparansi – Apakah pengguna paham bagaimana sistem menghasilkan keputusan?

Generative AI, sayangnya, seringkali gagal memenuhi hal terakhir: transparansi.

Sebagian besar model AI saat ini bekerja menggunakan jaringan neural kompleks (large language models atau diffusion models). Sistem ini belajar dan mengandalkan input dari miliaran data yang sudah ada, lalu meniru pola untuk menghasilkan teks, gambar, atau audio baru.

Masalahnya, proses meniru pola tersebut bersifat “black box” atau seperti sihir, tidak bisa dilihat atau dipahami oleh siapapun. Kita tahu input dan output, tapi tidak tahu kenapa AI bisa memilih satu kata, satu bentuk, atau satu nada tertentu. Tidak ada niat, tidak ada intuisi, tidak ada penjelasan.

Jika dianalogikan, kita seperti sedang menjawab pilihan ganda dengan cara menghitung kancing. Bisa saja jawabannya benar, tapi kita tidak betul-betul memahami kenapa jawaban tersebut benar.

Pada akhirnya, nilai yang didapat menjadi kabur, seperti tidak memiliki makna.


Tahun 2022, Jason M. Allen memenangkan kompetisi di Colorado State Fair dengan karya visual yang dihasilkan melalui Midjourney. Ia menulis prompt, menyempurnakan hasil, dan mencetak karya untuk dipamerkan.

Karyanya menang. Tapi tentunya menjadi kontroversial. Banyak yang menuduhnya curang. Bukan karena karyanya jelek, tapi karena alat yang dipakai bukan kuas, melainkan AI.

“Saya tetap kreatornya. Saya yang memilih, saya yang mengarahkan. Midjourney hanyalah alat. Seperti halnya seniman menggunakan kuas.” Allen membela diri.

Namun publik tidak sepenuhnya setuju. Karena dalam persepsi umum, kreator harus berproses, bukan hanya memberi perintah. Kasus ini menggambarkan krisis baru dalam lanskap kreatif.


Kreator, Kurator, atau Operator?

Di era AI, mungkin kita harus jujur, kita bukan lagi satu-satunya sumber yang bisa menghasilkan karya. Tapi kita masih punya peran penting sebagai pengarah, penyeleksi, dan penafsir.

Mungkin definisi kreator pun harus ikut berubah:

  • Bukan sekadar orang yang “membuat,”
  • Tapi orang yang “menghidupkan” hasil dari AI,
  • Dan pemberi makna, yang hanya bisa dibentuk oleh manusia.

Saya percaya, generative AI bukan ancaman bagi kreator, tapi ajakan untuk mendefinisikan ulang kreativitas. Karya AI bisa luar biasa, tapi tetap butuh manusia—untuk memilih, menyunting, mengarahkan, dan bertanggung jawab atas pesan yang lahir dari mesin.

Meskipun, pertanyaan apakah karya AI bisa disebut karya sendiri belum terjawab sampai dengan saat artikel ini dipublish (yang sebagian prosesnya menggunakan AI).


💬 Renungan untuk kita semua:
Jika hasil karya dibuat oleh AI… apakah Anda merasa memiliki karya tersebut?

*Artikel ini disusun dan disunting oleh manusia, dan diperlengkap dengan menggunakan AI.

Referensi bacaan

1. Trust in Automation – John D. Lee & Katrina A. See (2004)
Judul: Trust in Automation: Designing for Appropriate Reliance
Link: https://journals.sagepub.com/doi/10.1518/hfes.46.1.50_30392

2. Penjelasan Black Box – Jenna Burrell (2016)
Judul: How the machine ‘thinks’: Understanding opacity in machine learning algorithms
Link: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2053951715622512


Posted

in

by